Rabu, 24 Juli 2019

Politik Itu.................

by AK Fahmi Politik: polo di itik itik, kata Kartam, tetangga desa saya. Dia yang mengaku sebagai pekerja politik alias cari pekerjaan di politik, ya walaupun di level bawah, di desa atau kecamatan. Bagi dia sederhana saja. Politik itu permainan, ya sekedar permainan. Polo di itik itik, maksudnya, ya semacam akal-akalan lah. Tentu Kartam (tentu disini nama yang saya samarkan), setahu saya tak sering bicara mbulet-mbulet tentang definisi, tujuan, dan keluhuran politik. Ataupun teori sebaliknya, bahwa “politik itu kejam ala Iwan Fals”, yang mana lebih mengacu pada gaya Machevellian dalam politik. Karena mendefinisikan secara sederhana, saya melihat, kadang Kartam calon yang didukungnya menang, dan sering kalah juga. Ya, polo di itik itik. Sekedar permainan. Tapi yang terpenting dia tetap menahbiskan diri sebagai pekerja politik. Apa arti lebih jelas tanyakan sendiri ke kartam. Suatu saat dia ikut nyalon Kades. Dan gagal total. Bahkan lebih dari itu kena musibah. Rumahnya sempat kebakaran. Ketika saya tanya, priwe masih jadi “pekerja politik”, dia justru balik bertanya Kapan sampeyan maju jadi Dewan? Konon dia sudah agak tobat, gegara dedel duwel maju jadi Kades. Ternyata jadi calon, dengan menjadi pekerja politik itu sesuatu yang berbeda. Selanjutnya kemudian, dari pekerja politik “terpaksa” nyambi jadi satpam di salah satu lembaga pendidikan. Ya, mungkin maju tuwa, jadi profesi pekerja politiknya agak dikesampingkan...mungkin sudah benar-benar “tobat” jadi pekerja politik. Entah di perhelatan 2019 ini? Saya tidak banyak berinteraksi. Yang pasti saya simpulkan, ucapan tahun 2003 atau 2004, saat saya masih semangat-semangatnya mendukung salah satu Parpol, dia mengingatkan bahwa, politik itu ya polo di itik-itik. Tentu saya tidak sepakat dengan statemen itu. Tapi ya politik kadang pada level yang normal dan wajar, persoalanya hanya suka atau tidak suka. Itu saja. Bukan melihat visi missi, problem besar bangsa ini dan sebagainya. Nah, hanya pada level di atasnya kemudian politik dari suka atau tidak suka, lebih banyak berkembang isu-isu yang tidak produktif. Isu yang tidak produktif adalah isu yang terlalu tinggi ketika kita menjangkaunya, atau isu yang simplistis atau terlalu disederhanakan. Idealnya, adu program, mengukur dan memberikan contohnya. Namun ini ribet. Isu yang tinggi, cocoknya dalam era membangun identitas kelompok, semacam era pergerakan nasional, tentang sebuah visi besar. Atau di setiap momentum pergantian orde, seperti era 1966 dnegan jargon kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, ataupun era reformasi dengan 7 isu: Hapuskan Dwi fungsi ABRI, Otonomi Daerah dlll (cari sendiri..). Sedangkan isu yang simplistis ya jualan akan membangun jembatan, program pendidikan gratis dan sebagainya yang mana, sangat praktis, bahkan dalam hal tertentu akan susah mengukurnya, alias mendekati ngibul. Dan bisa jadi ngibul beneran akhirnya. Yang ideal adalah setiap masa mungkin bisa 10 tahun, 15 tahun 20 atau maksimal 25-30 tahun terdapat gagasan besar yang diusung untuk disepakati. Dan kemudian diterjemahkan dalam 5-10 tahun secara ajeg. Jangan gampang berubah. Tapi ingat gagasan besar itu harus disepakati secara umum. Selanjutnya dalam level permainan politik—sebab politik seperti mengalihkan perang senjata kepada perang persepsi dan kotak suara—adalah adu gagasan. Dari gagasan awal, misal jika era sekarang era reformasi yang gagasan awalnya bagaimana? Dan kemudian menawarkan suatu program-program yang lebih terukur. Dan dipersilakan rakyat memilih gagasan mana yang pantas untuk dibawakan oleh siapa atau kelompok apa. Tentu ini idealnya. Yang terjadi malah seringkali bukan debat gagasan, akan tetapi saling defensif menebar ketakukatan. Dari Isu PKI, khilafah, intoleran, wahabi dan sebagainya. Itu di tingkatan opini publik. Saya tadinya berharap perbincangan tentang berbagai isu, seperti awal 1998-1999, tentang dua skenario bangsa ini. Skenario baik dan skenario buruk. Jikalau tidak karena gonjang ganjing pergantian kekuasaan politik dan berbagai kerusuhan yang merebak, tentu perbincangan itu lebih bermakna, dibanding sekedar mentarget kekuasaan. Termasuk tentang isu pemberantasan korupsi ya memang ini hasil reformasi. Tapi, sekali lagi pada praktiknya politik adalah polo di itik itik. Jika jadi orang awam kita sulit tahu mana yang benar benar main fitnah, main curang, main uang, dan main main lainnya. Kecuali hanya fakta yang ada. Rakyat hanya nurut saja, walaupun kadang ada perasaan yang mengganjal...entah apa itu?. Lain halnya dengan Kardi (tempo hari saya ceritakan tentang profesinya sebagai asongan koran di Kereta api yang hilang akibat ketatnya PT KAI). “Kang Nyoblos sapa?”. Demikian dia saya tanya. Jawabnya, “Ya ta awur, lah ra ana sing kenal. Pokoke angger gambare keton apik ya ta coblos.”. Kecuali Pilpres, pilihan lain dia tak punya preferensi atau pilihan sebelumnya. Ketika saya desak, “Olih wuwuran ya Kang?” Apa Jawabnya: “Ora!. tapi Kae tanggaku lha olih.”. Dan setelah saya telusuri, ada fenomena lain. Terdapat Caleg yang menyebar hingga 20 amplop, dapatnya Cuma 5 suara di suatu TPS. Dan yang lebih ngenes, menyebar 150 amplop, hanya dapat 15 suara. Tentu ndak Cuma amplop tok. Dan ketika saya tanya pendapatnya tentang sebaran amplop itu, salah satu pemilih bilang, “ya itu uang ganti ongkos tidak berangkat kerja hari itu” Jal Priwe? Lha, saya berguman. Seandainya aturan tentang kebolehan memberi janji, materi atau sumbangan juga tidak dilarang. Mbok yao itu ketika ada caleg yang mau mbagi-mbagi amplop hingga 150 amplop, misal @30-50 ribu, mending untuk kegiatan kerja baktsi masalah emmberikan saluran air disebelah rumah. Dan untuk caleg yang mendanainya, silakan pasang baliho besar misal, “Kerja Bakti gotong royong bersama caleg Anu, Partai Ini..aja kalalen nyoblos aku ya.... Saya rasa itu lebih tampak manfaatnya. Tentu pekerjaanya ya harus benar. Tidak sekedar rampung. Ini yang saya sebut menurunkan dari gagasan tinggi ke gagasan praktis, tetapi tetap dalam koridor manfaaat dan permainan politik. Ya. fenomena lain adalah terkait dengan semakin mudahnya mengakses informasi, justru semakin orang susah mendapatkan prefrensi. Banjir informasi ternyata bukan pada isu gagasan atau program, tapi pada aspek lain. Pada aspek ketakutan yang ditimbulkan dan di sisi lain, masyarakat berjarak dengan calon pemimpinnya. Untuk mengatasi jarak inilah mekanisme transaksi materi berlangsung. Susah untuk dikatakan yang namanya wuwuran atau money politik tidak terjadi. Entah pilihan apapun. Dan seperti halnya pesta, wuwuran itu pesta itu sendiri. Tentu tidak semua caleg atau calon pemimpin muwur. Tapi, ini kenyataan yang sudah seperti budaya. jika demikian, jangan harap doa terbaik untuk pemimpin yang dipilih, akan tetapi sekali lagi berjarak. dan sekali lagi politik adalah polo di itik itik. Dan yang terlibat di dalamnya adalah para pekerja politik... wallahu ‘alam Bishowab Kebumen 21 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar