Senin, 06 April 2009

Orang penting, Tidak penting….Kurang Penting

By AK Fahmi


Pernahkah saudara merasakan sebal luar biasa kedatangan seseorang dalam hidupmu, mengambil waktu dan bahkan perasaan dan pikiranmu. Semisal...siang-siang sedang enak istirahat, sekaitar jam satu hingga tengah tiga. Pulang dari kantor ato pekerjaan. Terketuklah pintu dengan ucapan bel, ”Assalamu alaikum” otomatis dari bel rigning yang tentu menurut saya gak wajib dijawab.
Lha, orang itu tidak kita kenal....bahkan sama sekali asing. Biasanya keperluannya cari sumbangan. Masya Allah. Dah ganggu waktu istirahat, minta sumbangan lagi!!!
Mbok yao, kalo datang jangan siang-siang begini. Kategori minta sumbangan termausk pengamen tak tahu diri. Dah begitu, lagunya gak jelas lagi.
Mmenag di zaman globalisasi ala ”kadal” ini semua serba terbalik. Orang yang waras bisa jadi gak waras. Ata s nama kebebasan, hak privat akan ”terudal-udal”. Belummlagi mereka gak memilki persaan, asal main pejet bel aja. Padahal kalo anak saya lagi tidur kan jadi bangun. Padahal membuat anak tertidur, juga butuh kesabaran....pengennya ta jotos saja.
Lalu, penting dan tidak penting ato kurang pentingnya dimana?...............
Inilah sifat dasar manusia yang dalam dirinya tertanam mengutamakan diri sendiri dan jelas tidak mau diganggu waktu dan persaaanya. Disanalah berlaku hukum penting atau tidak penting.
Bisa jadi, kalo siang-siang yang datang orang hendak menawarkan pekerjaan yang oke dan memberi keuntungan yang bagus buat kita, tentu hati kita akan mengaggap itu penting.
Ataupun jikalau tidak memeeri keuntungan secara materi, jikalau yang datang mengetuk dan mengambil waktu dan perasaan kita, seoarang shahabat dekat yang lama tidak bersua, mungkin juga akan kita prioritaskan.
Untuk itulah, saya mencoba ketika datang menemui seseorang akan mencoba confirm dulu. Aapakah kehadiran saya comfort dan available gak baginya....mungkin gak sesaklek itu jika yang aku datangi beberapa kawan yang sudah saya kenal baik. Ya jelas ini diskriminasi, akan tetapi pengalaman saya di pesantren. Jam 10 malam, mau tidur kedatangan tamu yang macam-macam motifnya, dari yang nagajak ngobrol ngalor – ngidul hingga ujung-ujungnya utang. Dan semua bukan kategori mahluk ring pertama yang boleh mengambil waktu dan perasaan kita. Karena memang berposisi sebagai ”orang masyarakat” ya kudu dihadapi. Cuma maaf-maaf saja, hati memang tidak bisa berbohong. Sebab saya merasa jangankan korban harta, waktu saya yang diambil dia dnegan ngobrol tidak jelas, ngerasani sana, ngerasani sini itu jelas gak memeberi manfaat bagi saya.
Tapi itulah menjadi orang masyarakat harus siap melayani ”kegelisahan sosial” semacam itu. Dan saya samapai sekarang merasa belum mampu menjaga hati saya ikhlas mendengarkan dan memeberi ruang dan waktu, apalagi harta kita pada orang-orang tidak jelas itu.
Ada juga sih beberapa orang atau kelompok islam tertentu yang memang rigid dalam menerapkan aturan ini. Bertemu seseoarang ya harus jelas tujuannya, waktunya dan pencapiaannya. Dan kalo mungkin orang tersebut kita pengaruhi ideologi, pemahaman agama, hingga manhajul fikrnya. Dan kalo mungkin diluruskan belak-belok hidupnya. Jika tidak jelas, ukurannya maka sama saja kita tidak menghormati waktu kita.
Ya, orang boleh-boleh saja memilki visi dan missi dalam hidup yang kemudian diaplikaskan hingga detik per detik. Bahkan sesuai tuntunan dibuatlah ”life time chart” dalam waktu 10 tahunan hingga satu mingguan apa yang harus dikerjkannaya siang nanti. Aapa pencapaian secara materi, intelektual dan rohani. Berapa kawan yang harus disambangi dan pean-pesan apa yang harus sampai kepada mereka.
Saya sangat setuju dengan hal ini. Ini membuat kita memilki ”guidance” atau arahan bagaiamna setiap hari kita mencoba mengarahkan hidup kita. Sebagaiamna Islam mengajarkan, bahwa tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua terencana. Tingga kita mekilki renacana ato tidak. Aakan tetapi ketika berinteraksi dnegan masyarakat yang bermacam-macam motif, sikap hidup, pengalaman, profesi, pola pikir dan juga cita rasa masing maisng orang, belkum lagi kadang semakin bodoh atau jahil seseorang kadang mereka seringkali ”neranyak” minta dihormati lebih. Inilah sussahnya....
Seedangkan jika orang itu benar- benar berkualitas, baik secara pengalaman hidup, intelektual hingga pengabdiannya pada masyarakat, biasanya mereka memilki jiwa yang luas.
Saya beberapa kali bertabrakan dnegan orang jahil yang sebenarnya maaf di masyarakat dia rata-rata orang trouble makers, istilahnya nyebeli... dan mungkin kharakter bawaan saya pantang direndahkan atau sorry lah yau berhormat-berhormat orang yang tidak mengenal dirinya, mengenal kejahilannya, saya tidak peduli.
Akan tetapi dnegan beberapa orang yang secara kualitas keilmuan, pengabdian ataupun prestasi cukup meyakinkan di masayarakat, mereka rata-rata orang yang enak diajak ngobrol, perhatian dan ketemu d negan mereka seakan ada dorongan untuk mensyukuri hidup.
Tentu klasifikasi orang-orang ini tidak sekedar dia orang yang suka di mesjid...tidak! Tidak mesti. Bahkan mungkijn juga ada orang yang ”alim” dan taat beribadah ya tidak kurang jahilnya....jahil pada agamanya, pada manusia dan juga pada diri mereka sendiri. Menggangap diri dan pemhaman kelompoknya paling benar, paling mengikuti sunnah Nabi dst.
Ya...memang cari manusia sempurna gak ada....dan kita juga harus encoba menerima manusia dnegan segenap potensi dan kelmehan kharakter dan pembawaannya....Akan tetap semua ada guidancenya....Saya yakin agam kita, Islam telah memberi guidance..
Dan sebaliknya untuk diri kita sendiri, memnag untuk dapat diterima seluruhnya dari aspek kepribadian kita oleh orang lain, secar a utuh juga tidak mungkin. Ada kalnaya dan pasti ada...hal-hal yang tidak bisa kita pahami dari sisi kepribadian kita yang kadang kurang dari sisi kepribadian yang bisa diterima orang secara umum, apalagi jiika disamakan dnegan kepribadian Rasul Saw. ...Ya, bahkan diri kita sendiri kadang tak mampu mehami mengapa ya kok aku seperti ini, ketika menghadapi situasi tertentu....akan tetapi itulah Islam.
Sebagaiamna ada berbagai macam kharakter Shahabat, Abu Bakar yang lembut dan berwibawa, Umar yang Keras dan zuhud, Usman yang pragmatis dan lembut dan Ali yang Intelek namun tidak pragmatis dalam politik, Khalid bin Walid yang tanpa kompromi di medan perang....dst...dst. Bahkan Mungkin saja sosok Muawiyah yang kita kenal dengan sejarah kelicikan politiknya ketiak mengahdapi Ali, itu adalah potensi. Tersewrah kepada Allah saja yang memebri keputusan. Seorang Muawiyah adalah Sahabat yang meriwayatkan hadits...tentu kita juga bukan apa-apa. Cuma sayangnya kelicinan politiknya bersama Amr Bin Ash yang kadang jadi rujukan para aktifis Islam kita. Ini yang gak benar. Bukan jasanya meriwayatkan hadits, meluaskan daulah Islamiyah dan kemmapuannya bediplomasi dan mendengarkan kritikan yang paling pedas sekalipun, seperti ketika mendnegrakan kritikan Abi Dzar al-ghifari yang harusnya diteladani juga.
Bercerita tentang sejarah persitiwa Tahkim atau saat perundingan antara Muawiyah dan Ali di Damaitul Jandal memenga menarik...Dan saya yakin ini juga bukan berarti pihak Ali itu bodoh. Tapi itulah takdir politik Umat Islam. Apakah itu berkah atau musibah, Allah saja yang Maha Tahu....
Lho kok jadi melenceng jauh.......
Saya hanya membayangkan, apa iyya calon-calon pemimpin kita (yang DPR atau presiden), yang Hmi ato Non HMI. Yang muda atau tua...Mam,pukah menggeser paradigma orang penting—orang tidak penting—atau orang kurang penting secara baik ketika bertemu masyakat dengan latar berbagai macam dan ragam. Dan kadang mereka menuntut hak-hak kita yang paling asasi, pengen tahu urusan, bahkan maaf urusan ranjang kita. Ini khan kebnagetan banget..jika seoarang pemimpin taunya hanya beres..perentah sana, perentah sini...Dan yang paling nyebelin kadang mengorbankan anak buah.
Dan kita semua juga bukan mansuian yang super, seperti istilhanya mario teguh. Kita juga pengen dihargai waktu, perasan dan kelemhan kita. Dan orang lain, apalagi yang tidak sepkatd negan kita pasti kerjanya cari masalah.....
Dan, hal yang paling sederhana ketika menjadi pemimpin, di semua level appaun, mampu mendnegarkan, membuat orang lain merasa penting dihadapannya dan memeberi orang dnegan takaranya masing-maisng.
Sesempurna itukah....? Jawabnya: YA!!
Lalu diamnahak diri kita. Untuk itulah saya memahami dunia kepemimpinan itu selain perencanaann matang seoarang mansuia, semua harsu diawali dari rasa Taqwa pada Allah dan ujungnya adalah tawakal. Kita tidak mungkin memuaskan semaua manusia. Dan, hanya kepada Allah saja bertawakal....minta pertolongan untuk dimampukan dan dimudahkan semua urusan kita
Isy Kariman au Mut Syahidan....itulah balasannya. Surga.
Wallahu alam Bisshowab

Ditulis
Di gang sumbing 3 bumirejo kebumen...
925 21/03/09

Kamis, 02 April 2009

DALAM HUJAN

     Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku

Hingga membuat kau percaya

Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku

Selamanya, selamanya … ¯

Anin langsung pasang muka jutek mendengar lagu yang dialunkan radio di kamarnya sore itu. Ni yang request sapa, sih ? Nyindir aku, ya ?

Yah, lirik d’Cinnamons yang diiringi akustik itu terasa menusuk hati Anin. Prince Charming-nya nggak pernah tahu kalau Anin sukaaaa banget sama dia. Azka namanya. Cowok cakep di sekolahnya, sebangku sama dia, lumayan pinter, baik pula.

Masih terngiang di benak Anin ketika ia baru masuk SMP Putra Bangsa beberapa bulan lalu. Saat itu ia kebingungan mencari kantor guru. Ayahnya yang hanya mengantarkan sampai gerbang tidak bisa mengantarnya sampai menemui wali kelasnya. Urusan kerjaan. Lagipula waktu itu bel masuk sudah berbunyi. Untunglah, d’Prince Charming menolong.

Karena kebetulan cowok itu telat dan tahu ada cewekyang  kayak anak ilang. Sehabis bla bla bla sebentar, jadilah mereka ke kantor bareng. Setelah Azka menuliskan nama dan kelasnya di buku daftar anak yang terlambat, ia masuk kelas. Sementara Anin menunggu di kantor sebelum diperkenalkan oleh teman-teman kelas barunya, karena sang wali kelas mengajar di jam kedua. Kalau sekarang kalau nggak salah sih BP.

 

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

 

Setelah Anin memperkenalkan diri di depan anak-anak 9C, Bu Sofi, wali kelas Anin yang merupakan guru bahasa Inggris mempersilakan Anin duduk. Bukan mempersilakan Anin memilih tempat duduk. Artinya, bangku yang kosong hanya satu. Anin mengedarkan pandangannya. Yap, di barisan paling timur, menghadap jendela. Sebelahnya, ya ampun ! Cowok itu ! Cowok yang tadi ke kantor guru bareng dia. Cowok itu senyum, mempersilakan Anin duduk di sebelahnya. Anin pun menuju bangku itu, duduk di sana dengan perasaan malu.

Di akhir pelajaran, Bu Sofi bilang kalau Azka boleh menemani Anin keliling sekolah, supaya bisa lebih mengenal sekolah barunya. Azka yang terpilih jadi ketua kelas mengiyakan. Makin gondok si Anin.

Tapi, penilaian Anin tentang Azka yang ia pikir seperti anak cowok pada umumnya (bandel, males, jorok, ga’ sopan, dsb.) berubah. Tentu setelah ia keliling sekolah dengannya, setelah duduk sebangku dengannya, ngobrol dengannya, mengenalnya lebih dekat. Ternyata ia baik, nggak banyak ngoceh, dan supel juga sama lawan jenis, tapi nggak berlebihan. Dan, setelah dua bulan semenjak kepindahannya, Anin merasakan sesuatu pada Azka. Sudah bisa ditebak rasa apa itu. Rasa yang muncul tanpa diduga. Rasa yang muncul pada setiap manusia, yang normal tentunya. Rasa indah yang merasuk ke telaga jiwa. Rasa yang ...

”ANINDYA PUTRI MAHARANIIIIIIII !!!!!!!!!!” Anin melonjak kaget. Kak Andin rupanya. Kenapa ya ?

”Kamu nggak denger apa aku udah manggil kamu puluhan kali ??!!” Wah, marah dia. Pakai mencak-mencak segala. Emang aku ngapain, ya ?

”Beli kertas kado sana !” Kak Andin mengangsurkan uang lima ribuan.

”Tapi, hujan ...”

”Sebodo amat ! Emang kamu nggak tahu kegunaan payung ?!” Kak Andin masih sewot.

Anin mengambil payung dekat rak sepatu di ruang tamu sambil manyun. Dasar, udah tau temen kuliahnya ulang taun besok, baru beli kertas kado sekarang, nyuruh lagi. Anin melirik Indra, kakak keduanya yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya, mendengarkan MP3 lewat earphone sambil membaca majalah.

Dan kenapa yang disuruh selalu aku ??????!!!!!!

 

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

           

Anin kesal. Sudah disuruh-suruh dengan tidak hormat, sudah jauh-jauh pergi ke warung terdekat (warung di sekitar rumahnya tergolong jarang), eh ... barang yang dicari habis. Kebayang gimana reaksi dan tindakan selanjutnya dari Kak Andin.

Anin menyusuri blok perumahan tempat ia tinggal dengan lesu. Ia teringat Azka lagi. Sudah empat bulan semenjak kepindahannya dari Semarang ke kota kecil ini. Sudah dua bulan Azka sering bertanya Anin kenapa. Sakit atau bete, atau lagi ada masalah sama keluarga atau kenapa, karena Anin sering diam dan menjawab setengah hati kalau ditanya. Anin tidak pernah menjawabnya. Masa’ sih dia dijahati sama teman yang belum satu semester ia kenal, atau ada masalah dari ortunya tercinta, apalagi sama kedua kakaknya. Yah, walaupun kadang-kadang nyebelinnya gak ketulungan.

Masalah yang aku hadapin sekarang, adalah aku teramat sangat bingung bin nggak tahu harus memperlakukan rasa yang bersemi di hati aku sekarang, Ka. Dipendamkah, atau aku yang maju duluan. Cewek pedekate duluan ? Nggak banget !!!!!

”Pergi dulu, ya, Ris !”

Ha ? Perasaan kenal deh sama ni orang ...

”Emang ga pa-pa, Ka ? Belum berenti lo, ujannya.”

Nah, ini juga aku kenal. Tapi, siapa, ya ?

”Gak pa-pa lah, Ris. Cuma gerimis ini. Ya nggak, Ka ?”

 Kalau yang ini aku gak tahu. Siapa, nih ?

Anin mencoba melongok ke sebuah rumah di ujung gang. Dan, melongolah dia. Anak cowok yang berdiri di teras itu kalau nggak salah Haris, anak 9A. Dan yang lagi markirin motor, itu kan Azka ? Trus, cewek yang lagi pakai helm siapa ???

”Hati-hati, ya. Jangan pacaran mulu. Minggu depan semesteran, lo !” Haris yang dulu sebangku sama Azka tersenyum. Entah bagaimana reaksi dua orang yang sudah duduk di atas angsa besi itu. Wajah mereka tertutup helm.

Azka menyalakan mesin dan membunyikan klakson, tanda ucapan selamat tinggal pada Haris. Si cewek menaikkan kaca helmnya dan mengatakan, ”Makasih, ya, sepupuku sayang ...” sambil melambaikan tangan. Motor itu melaju hingga hilang ditelan rumah di ujung gang sana. Haris masuk ke dalam. Sementara Anin mematung di tempatnya masih dengan payung di tangan dan perasaan terguncang.

 

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

 

Azka ? Pacaran ? Sama cewek tadi ? Anak mana ?

Sepupuku sayang ? Haris sepupu cewek itu ?

Kalo gitu, gimana ceritanya Azka bisa ketemu cewek itu terus jadian ? Eh iya, kan ada Haris. Paling dia yang  jadi Mak Comblang-nya. Eh bukan, Ki Comblang. Tapi ... AAAARRRRGGGGHHHH !!!!!!

Anin membanting payung di teras rumah saking kesalnya. Pintu depan terbuka. Kak Indra muncul, mengerutkan kening melihat payung yang letaknya terbalik dan wajah adiknya yang ditekuk.

”Lagi ngamuk, nih ?”

Anin mendelik ke arah kakaknya. Indra mengambil payung biru yang terbalik dan memeriksanya kalau-kalau ada rusuknya yang patah.

Anin memandangi Kak Indra yang sudah berganti pakaian dan mengenakan ransel, ”Mau ke mana ?”

”Ke rumah temen.” Setelah yakin payungnya tak cedera, Indra mengenakan sandalnya. ”Pinjem payungnya, ya !” Indra pergi tanpa persetujuan Anin. Anin diam. Kak Andin muncul dari balik daun pintu yang masih terbuka.

”Mana ?” tagih Kak Andin.

Anin menggeleng, ”Habis.”

”Beli di utara, gih !”

Mata Anin membelalak, ”Jauh amat !” Kak Andin hanya mengangkat bahu. ”Payungnya dipake Kak Indra !”

Kak Andin menghilang masuk ke rumah. Lagi-lagi Anin gondok.

 

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

 

Anin menyusuri blok perumahannya dengan lesu. Di warung utara milik Bu Indah yang letaknya 1 kilometer dari rumahnya, barang yang dicari pun tidak ada. Anin heran. Memangnya sekarang lagi musim apa, sih ? Musim hujan, musim orang ulang tahun, musim kawin, apa malah sunatan ? Kertas kado habis di mana-mana. Bisa-bisanya ???

Anin memandang papan nama kedai bakso Pak Sobri. Enaknya hujan-hujan begini makan bakso. Hmmm ...

”Hari ini aku seneng banget loh, Ka.” Lho ? Ini kan ...

”Kenapa ?” Ini juga. Ini kan suara ...

Anin mengintip ke dalam kedai. Ya ampun, lagi-lagi Anin ketemu Azka ... dan ceweknya !

Anin pura-pura memandangi harga baksodi papan itu untuk mendengar pembicaraan Azka dan pacarnya. Sesekali Anin melirik ke pasangan yang duduk dekat jendela itu.

”... ini tu date kita yang paling asik, sambil makan makanan favorit aku. Kamu kok tau ?”

”Ya tau, dong.” Azka tersenyum. Iiih, senyumnya kok tulus banget sih ? Aku minta dong...!!

”Makasih, ya ... Say.” Cewek itu senyum malu. Kemudian melanjutkan makan.

Sementara tangan kanan cewek itu sibuk menyendok kuah bakso, tangan kanan Azka meraih tangan ceweknya yang lagi nganggur. Menyadari itu, muka si cewek langsung kayak kepiting rebus, merah. Kehangatan seketika itu terhenti ketika guntur mengelegar hebat. Mereka berdua tersentak kaget, termasuk pengunjung lain dan Pak Sobri sendiri. Tak terkecuali Anin. Ia langsung lari. Tidak hanya karena takut petir, tapi hatinya sudah koyak, tak utuh, tak berbentuk. Sudah cukup apa yang aku lihat. Sudah cukup hati aku retak. Sudah cukuuuup !!!!!

Anin terus melangkahkan kakinya. Tak peduli dengan hujan yang menderas. Tak peduli tatapan keheranan orang-orang yang melihatnya.

Anin berhenti berlari, terduduk di tengah jalan. Napasnya terengah, matanya basah. Anin menangis. Airmatanya tersamarkan rintik hujan. Anin menengadahkan tangannya, menatap ke atas langit.

Kenapa semua ini harus terjadi sama aku ? Aku sayang sama dia, tapi kenapa begini jadinya ? Apa dia nggak ngerti kalau aku suka sama dia ? Apa kurang isyarat yang aku kasih sama dia ? Kenapa aku harus ngalamin semua ini ? Kenapaaaa ?????

Anin tergugu di tempatnya. Meluapkan emosi di hatinya. Tak ada orang yang berada di luar rumah karena hujan semakin menderas. Air mata Anin pun ikut menderas.  

”Sialan ! Hujannya malah tambah gede !” rutuk seseorang berseragam putih abu-abu. Dilepasnya helm. ”Duh, gak bawa mantel, lagi !” Ditutupnya bagasi motor dengan keras.

Ia berteduh di teras toko kelontong yang sedang tutup. Digulungnya celana abu-abunya yang basah sebatas betis. Sosok itu mengedarkan pandangan. Alis kanannya terangkat ketika menemukan sosok cewek yang duduk di tengah jalan. Cewek itu lalu bangun dan berjalan berbelok ke blok lain. Kakinya dilangkahkan pelan sekali, tanpa semangat. Cowok yang melihatnya tersadar kalau cewek itu menangis. Terlihat dari tangannya yang hanya mengusap mata dan pipinya, bukan rambut dan seluruh wajahnya.

Dan ketika cowok itu melihat wajah si cewek dengan jelas, ”Lho, itu kan Anindya ?! ”

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

 

Anin duduk di meja kafe dengan bertopang dagu. Dipandanginya pengunjung lain siang itu sambil merenungkan kejadian kemarin sore. Ia pulang dengan baju basah kuyup. Kak Andin yang merasa bersalah menyuruh Kak Indra ke minimarket. Anin masih ingat ketika Kak Indra dengan tegas menolaknya, males katanya. Tapi saat Kak Andin menunjuk Anin yang berhanduk keluar kamar dengan lesu, Kak Indra nurut. Dan untungnya Anin tetap sehat esoknya. Tidak seperti Kak Andin yang ringkih, kehujanan sedikit langsung sakit.

Anin melirik Gucci hijau di pergelangan kirinya. Jarumnya mengatakan kalau siang itu sudah jam 13.15. Anin gerah. Ia mengipasi diri dengan daftar menu. Milkshake-nya tinggal setengah. Azka mana, ya ?

Anin heran. Ngapain cowok itu nyuruh dia stand by di kafe ini sepulang sekolah ? Jujur, awalnya Anin senang. Tapi ia langsung ingat kalau cowok itu sudah punya gandengan. Dan ketika ia sudah lumutan menunggu selama setengah jam, dengan perasaan kesal campur heran, tiba-tiba kening Anin berlipat. Dilihatnya Azka yang menggandeng pacarnya.

Oh ... njemput dulu, toh. Anin manggut-manggut sendiri. Sambil lalu, Azka mengatakan sesuatu pada Anin.

”Nanti ada yang mau ketemu kamu. Nggak lama, kok. Tunggu bentar, ya !” Dan cowok itu duduk semeja dengan ceweknya. Rasa kesal Anin sudah sampai ubun-ubun. Udah nunggu setengah jam, disuruh nunggu lagi ??? Nggak tau kakiku udah kram apa ?? Anin hampir membawa tasnya dan bergegas pulang ketika sebuah suara menyapa.

”Sori, nunggu lama, ya ?” Cowok berseragam SMA menarik kursi di depan Anin. Mata Anin meneliti cowok itu dari ujung jambul sampe ujung sepatu. Ini Azka versi cowok SMA, ya ?

”Boleh aku duduk ?” Anin tersentak, kemudian mengangguk kecil.

”Kamu kakaknya Azka, ya ?”

Cowok itu hanya manggut-manggut dan senyum, ”Kenapa ? Mirip, ya ?” katanya balik tanya. Anin senyum. ”Mau pesen apa ?” Cowok itu membuka daftar menu.

Menit berikutnya adalah saat yang membosankan bagi Anin. Makan bareng Alifian ia lalui tanpa minat. Cowok itu mirip wartawan. Nanyaaa... mulu. Hobilah, makanan favoritlah, inilah, itulah. Anin hanya menjawab : ’hmm, apa ?’ ; ’sori, tadi kamu bilang apa ?’ ; ’nggak tahu, ya ?’ ; ’hmm ... gimana, ya ? nggak tau tuh !’ ; atau ’bisa ganti topik nggak ?’. Dan sebisa mungkin, Anin memasang tampang oh-you-are-so-boring.

Anin menatap ke arah meja Azka untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya pula hatinya terbakar. Lama ia menatap mereka. Kemudian Anin merasakan teman semejanya hening, Anin heran. Anin menoleh ke arah cowok di depannya. Tatapannya aneh. Tajam dan lurus ke depan. Anin lama-lama salting juga. Mana enak dipelototin kayak gitu ?

Dan yang paling bikin Anin tambah bingung, Fian megang tangannya, erat. Seolah Anin gak boleh lepas darinya. Setelah satu menit yang menegangkan, Fian bersuara.

”Nin, kamu mau jadi pacar aku ?” Mata Anin membelalak. Bola matanya hampir keluar saking kagetnya. Apa jurus aku nggak ampuh ?

”Ma-ma-maksud kamu ?” Anin rada grogi. Cowok itu senyum, lebih tulus dari yang pertama tadi. Setulus senyum Azka sama ceweknya yang Anin liat kemarin.

  ”Tenang aja. Aku nggak bakal bikin kamu nangis kayak kemarin sore, kok.”

Mata Anin sepertinya sudah benar-benar keluar sekarang.

 

ÚÛÚÛÚÛÚÛ

Created by : r€cc@/RIZKA KHAIRUNISSA


 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAJU BARU BUAT RATIH


   

Nggak mau! Pokoknya aku nggak mau pake baju-baju itu pas lebaran nanti! Aku nggak mau! Aku mau beli baju baru! Titik!" Sasha ngedumel panjang lebar.

          "Sayang, nenek sama Tante udah beliin baju-baju ini, masa' kamu nggak mau pakai?" Bunda memberi pengertian.

          "Nggak mau! Masa' nenek ngira aku masih kecil, beliin bajunya yang udah sempit semua?!"

          "Iya, tapi baju yang dari Tante bisa dipakai kan?" Bunda mencoba menenangkan Sasha.

          "Nggak mau! Semua bajunya kegedean! Paling baru bisa dipakai tahun depan!" ujar Sasha masih dengan nada ketus.

          "Ya udah, sekarang Sasha maunya apa?"

          "Pokoknya beli baju baru lagi, titik!" Sasha mengulangi perkataannya.

Masih dengan perasan kesal, gadis kecil berusia dua belas tahun itu berlalu meninggalkan bundanya yang mulai sibuk menghubungi suaminya yang masih di kantor.

          Sasha menggunakan selop cokelatnya yang sedikit terjemur matahari di teras. Ia memandang rumah Ratih, tetangganya yang juga teman sekelasnya di sekolah. Kaki mungilnya berjalan menuju rumah yang asri itu. Dari pintu pagar rumah, Sasha bisa melihat Ratih sedang asyik bermain dengan adiknya, Lela.

          "Assalamualaikum," salam Sasha sambil tersenyum.

          "Waalaikumsalam. Eh, kamu, Sha. Ada apa?"     

          "Cuma mau main aja. Boleh, kan?" Sasha duduk di bangku rotan di samping Ratih.

          "Ya, boleh dong. Masa' nggak boleh sih?" mereka berdua tersenyum.

          "Enak, ya kalau punya adek," Sasha membelai rambut Lela yang masih duduk di bangku kelas satu SD itu. "Tapi jelas nggak bakalan mau kalau jadi adekku, nanti pipinya dicubit terus ya? Ih, gemes deh!" Sasha menjawil pipi tembem Lela.

"Eh, lebaran nanti kamu mau pake baju apa?" tanya Ratih.

"Belum tahu, nih. Belum beli," jawab Sasha. Ia memang belum beli lagi, walaupun sudah punya. Namun, jelas saja Sasha tidak mau memakainya, dan ia sedang bingung tentang masalah baju baru yang akan dikenakannya. Jadi, ia tidak bohong.

"Kalau kamu?" Sasha balik tanya. Tiba-tiba Ratih menunduk dan terdiam sebentar. Sasha jadi agak tidak enak hati.

          "Yah, paling-paling baju yang aku pakai lebaran kemarin" ujar Ratih lesu.

          "Lho, memangnya kamu belum beli baju baru?" Ratih menggeleng, "Kenapa?"

          "Ibuku sakit, tadi baru pulang dari puskesmas. Gaji bapakku habis buat periksa berkali-kali. Buat buka nanti aja, aku nggak tau mau sama apa."

          "Oh, gitu ya," Sasha manthuk-manthuk.

          "Eh, kamu masih puasa kan?" Ratih mengalihkan pembicaraan.

          "Masih, dong. Belum bocor sampai sekarang."

          "Hebat, aku juga. Sama, dong," mereka berdua tersenyum, kemudian sama-sama terdiam. Sasha baru angkat bicara untuk berpamitan beberapa saat kemudian.

         

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

          Sasha memasuki kamarnya. Merebahkan diri di tempat tidurnya yang berseprai motif bunga  warna oranye kesukaannya. Bunda menengok Sasha ke kamarnya.

          "Sayang, nanti sore kita beli baju baru, ya? Sama Ayah, di mall. Nanti buka puasanya di kafe, bertiga. Mau, ya?" Bunda membelai kepala Sasha dengan penuh kasih.

          "Iya, Bunda," jawab Sasha. Bunda heran, kok udah tenang, padahal barusan cerewetnya minta ampun.

          "Sasha udah nggak marah lagi sama Bunda?" Sasha menggeleng. Bunda tersenyum lega mendengarnya. Anak ini kadang-kadang setelah marah, entah kenapa bisa langsung anteng.

          "Bunda, Sasha punya permintaan. Ada tiga, Bunda mau ngabulin nggak?" tanya Sasha polos. Bunda terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangguk. Mata Sasha membulat karena senang.

 

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

          Sebuah Kijang Innova warna silver parkir di depan sebuah rumah. Sasha keluar dari mobil ayahnya itu dan menuju bagasi. Ratih, anak pemilik rumah itu memperhatikan dari jendela kamarnya yang menghadap halaman. Mau ngapain Sasha datang kemari, batin Ratih.

          Ayah dan Bunda Sasha menyusul keluar dari mobil. Bunda tampaknya membawa sebuah bungkusan yang berukuran agak besar, sedangkan ayah membawa sebuah koper dan jas putihnya. Sasha menutup pintu bagasi sambil membawa bungkusan besar seperti bundanya.

          Ayah yang paling duluan sampai di teras rumah Pak Haryo, ayah Ratih, menekan bel. Sasha ikut nimbrung dengan mengetuk pintu. Bunda tak mau ketinggalan dan mengucapkan salam tiga kali sampai pintu dibukakan oleh Ratih. Sasha tersenyum sendiri. Keluarga yang kompak, ujar Sasha dalam hati

          "Waalaikumsalam. Eh, Bu Salma, Pak Santoso," ujar Ratih.

          "Boleh kami masuk?" Ayah mulai buka suara.

          "Oh, boleh. Silakan, " Ratih tersenyum.

          "Eh, kita ke kamarmu, yuk. Adekmu ada di kamar, kan?" sembur Sasha langsung. Ratih kaget. Ngebet amat sih ni anak, ucap Ratih dalam hati.

          "Ayah dan ibu ada?" belum sempat pertanyaan Sasha dijawab, yang bawa koper dan pakai jas putih bertanya. Ratih cuma bisa mengangguk dan menjawab lirih.

          "Ada. Ibu di kamar, ayah di dapur, lagi masak air. Sebentar lagi juga ke sini." Ayah dan bundanya Sasha mengangguk.

          "Ayuk," Sasha menggandeng tangan Ratih.

          Dua gadis kecil itu masuk kamar. Bertepatan dengan mereka masuk, ayah Ratih menemui tamu-tamunya. Sasha menutup pintu. Ratih mengernyitkan dahi.

          "Nggak kenapa-napa, kok." Sasha berkata seolah bisa membaca pikiran Ratih. Ia duduk di tempat tidur, "Aduh, sayang sekali, Lela bobok ya?" Sasha melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Jelas-jelas Lela meringkuk di tempat tidur diselimuti kain sarung. Ratih hanya tersenyum dan ikut duduk.

          "Nih, buka deh bungkusannya," pinta Sasha.

          Pada mulanya Ratih bingung. Ia menatap Sasha keheranan, yang ditatap mengangguk, "Buka aja, trus liat." Ratih mengamati bungkusan di depannya dan mengeluarkan isinya. Ada dua bungkusan plastik lagi yang berlabel mall terkenal di kotanya, dan Ratih mebuka bungkusan yang paling luar. Mengeluarkan isinya dan melihat-lihat apa yang ada di dalam bungkusan itu. Sasha mengamati ekspresi Ratih dan mulai menghitung. Satu, dua, . . .

          "Waah!!! Baju-baju ini bagus banget!! Beli di mana, Sha?! Eh, kamu datang ke sini buat minta pendapat aku baju mana yang bakalan kamu pakai, gitu? Pantesan, tadi kamu bingung, ya? Wah, bagus banget! Kamu sih pakai baju-baju ini pasti cantik!" Ratih heboh sendiri. Sasha diam saja. Dia mulai bicara setelah membuka bungkusan lain yang tersimpan lebih di dalam.

          "Nggak, kok. Baju-baju itu buat kamu, di badanku udah kegedean semua. Kamu suka kan?" Sasha mengeluarkan beberapa baju warna-warni yang ukurannya lebih kecil daripada baju yang sedang dipegang Ratih dari bungkusan tadi. "Ini buat adekmu. Lucu-lucu, kan? Bagus, kan? Nah, baju koko ini buat bapakmu. Gamis biru ini buat ibumu. Moga-moga mereka juga suka," Sasha melirik Ratih. Sasha mendengus menahan tawa melihat ekspresi Ratih. Mulut Ratih menganga selebar-lebarnya.

          "Kamu bercanda, ya? Nggak, nggak mungkin. Nggak mungkin kayak gitu," Ratih menggeleng kuat-kuat,"Hm, baju yang merah ini pasti pas di badanmu," Ratih mengamati gamis merah yang ukurannya lebih kecil dari baju yang lainnya. Sebenarnya hati kecilnya senang apabila baju-baju yang sedang diamatinya itu menjadi miliknya.  

          "Ratih, semua baju di bungkusan itu buat kamu. Aku ikhlas. Itu baju dari tanteku yang kemarin ke rumah. Itu semua buat kamu," Sasha mencoba meyakinkan Ratih. Ratih terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Sasha. Sasha tetap menunggu. Setelah beberapa saat, Ratih mulai bicara lagi.

          "Te-terus, y-yang itu?" ucapnya agak terbata. Matanya serasa mulai memanas.

          "Kan tadi aku udah bilang, baju-baju ini buat adekmu, mungkin agak kegedean buat Lela, tapi ini semua udah sempit di badanku. Kalau gamis sama koko ini kebetulan tadi beli di mall," Sasha tersenyum, "Sekarang kamu percaya?"

          "Kamu . . . kamu nggak bercanda, kan?" Sasha menggeleng. "Tapi . . . kok . . . kok kamu . . ." tanpa tertahankan lagi, butiran-butiran bening jatuh di pipi Ratih. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.

          "Aku cuma prihatin sama kamu, bukan dengan maksud apa-apa, lagian aku sedang punya rejeki lebih yang memang udah buat kamu dan keluargamu. Toh, kalau aku ngasih ini semua ke kamu aku nggak bakalan rugi. Kalau aku simpan terus, aku malah rugi," Sasha menggenggam jemari Ratih erat-erat. "Itulah gunanya teman, juga tetangga, harus saling tolong-menolong. Keluargamu udah ngasih banyak pertolongan ke keluargaku. Sekarang giliran keluargaku menolong keluargamu. Ayahku lagi meriksa ibumu. Bunda lagi bicara sama ayahmu."

Ratih menangis.  Sasha mengusap air mata Ratih dengan jari-jari kecilnya. Lela bangun. Menyadari kakaknya terisak, kontan ia menarik-narik baju Ratih. Ratih segera memeluk Lela dan berkata lirih ke telinga adiknya, "Dek, kita punya baju baru. Kita punya baju baru, sayang. Bapak juga, ibu juga . . ." air mata Ratih jatuh di pakaian Lela.

"Nggak cuma itu," Sasha menarik tangan Ratih setelah melepaskan pelukan dengan adiknya, "Ayo."

"Ke mana?"

"Nanti kamu juga tahu sendiri."

Ketiga gadis kecil itu berjalan menuju ruang makan. Di meja yang tidak terlalu besar itu sudah duduk orangtua Sasha dan Ratih.

"Ayo, kita buka puasa bersama," ajak ibunda Sasha kepada mereka bertiga yang sedang membuka dan mengeluarkan bungkusan yang ia bawa tadi. Ratih dan Lela bingung, tapi akhirnya mereka duduk juga. Setelah duduk, ayahanda Sasha ,mendekati Ratih.

"Ratih, ibumu kena sakit typus, harus teratur minum obat. Ini batnya. Yang ini dua kali sehari, yang dua ini tiga kali sehari." Pak Santoso memberikan tiga bungkus obat tablet dan kapsul pada Ratih. Sekali lagi Ratih bingung, tapi tetap menerima bungkusan dari Pak Santoso.

"Terima kasih, Pak" ujarnya lirih. Pak Santoso hanya tersenyum.

"Saya ucapkan terima kasih, Pak, Bu, Dhek Sasha. Terima kasih atas pertolongannya. Tapi, dari mana Ibu tahu persoalan keluarga kami?" Bu Rinta angkat bicara. Pak Haryo mengiyakan perkataan isterinya. Bu Salma yang sedang menata makanan tersenyum dan melirik Sasha yang sedang bercanda dengan Lela. Barulah pasangan suami-isteri itu mengerti.

"Sasha itu anaknya peka. Kalau ada temannya yang sedang susah, dia langsung ingin membantu," kata Pak Santoso.

"Oh, ya. Ini hidangannya. Maaf lho jadi pinjam tempat buka puasa di sini," ujar Bunda Sasha. Ratih jadi agak canggung mendengar ucapan tetangganya. Padahal di rumahnya sendiri, tepatnya di rumah orangtuanya sendiri.

Matahari di ufuk barat telah menyembunyikan diri. Kemudian, terdengar adzan maghrib dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Ratih. Semua yang sedang duduk di sekitar meja makan di rumah itu serentak mengucapkan doa berbuka puasa dan menyantap hidangan yang ada bersama-sama. Tentu saja dengan keakraban dan rasa kekeluargaan yang sangat kental.

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

Keep our relationship with our friend and our neighbour. Don't break it anytime!

Created and written by :

Rizka Khairunnisa

SMP Negeri 1 Kebumen

Jl. Mayjend Sutoyo 22, Kebumen 54311