Kamis, 02 April 2009

BAJU BARU BUAT RATIH


   

Nggak mau! Pokoknya aku nggak mau pake baju-baju itu pas lebaran nanti! Aku nggak mau! Aku mau beli baju baru! Titik!" Sasha ngedumel panjang lebar.

          "Sayang, nenek sama Tante udah beliin baju-baju ini, masa' kamu nggak mau pakai?" Bunda memberi pengertian.

          "Nggak mau! Masa' nenek ngira aku masih kecil, beliin bajunya yang udah sempit semua?!"

          "Iya, tapi baju yang dari Tante bisa dipakai kan?" Bunda mencoba menenangkan Sasha.

          "Nggak mau! Semua bajunya kegedean! Paling baru bisa dipakai tahun depan!" ujar Sasha masih dengan nada ketus.

          "Ya udah, sekarang Sasha maunya apa?"

          "Pokoknya beli baju baru lagi, titik!" Sasha mengulangi perkataannya.

Masih dengan perasan kesal, gadis kecil berusia dua belas tahun itu berlalu meninggalkan bundanya yang mulai sibuk menghubungi suaminya yang masih di kantor.

          Sasha menggunakan selop cokelatnya yang sedikit terjemur matahari di teras. Ia memandang rumah Ratih, tetangganya yang juga teman sekelasnya di sekolah. Kaki mungilnya berjalan menuju rumah yang asri itu. Dari pintu pagar rumah, Sasha bisa melihat Ratih sedang asyik bermain dengan adiknya, Lela.

          "Assalamualaikum," salam Sasha sambil tersenyum.

          "Waalaikumsalam. Eh, kamu, Sha. Ada apa?"     

          "Cuma mau main aja. Boleh, kan?" Sasha duduk di bangku rotan di samping Ratih.

          "Ya, boleh dong. Masa' nggak boleh sih?" mereka berdua tersenyum.

          "Enak, ya kalau punya adek," Sasha membelai rambut Lela yang masih duduk di bangku kelas satu SD itu. "Tapi jelas nggak bakalan mau kalau jadi adekku, nanti pipinya dicubit terus ya? Ih, gemes deh!" Sasha menjawil pipi tembem Lela.

"Eh, lebaran nanti kamu mau pake baju apa?" tanya Ratih.

"Belum tahu, nih. Belum beli," jawab Sasha. Ia memang belum beli lagi, walaupun sudah punya. Namun, jelas saja Sasha tidak mau memakainya, dan ia sedang bingung tentang masalah baju baru yang akan dikenakannya. Jadi, ia tidak bohong.

"Kalau kamu?" Sasha balik tanya. Tiba-tiba Ratih menunduk dan terdiam sebentar. Sasha jadi agak tidak enak hati.

          "Yah, paling-paling baju yang aku pakai lebaran kemarin" ujar Ratih lesu.

          "Lho, memangnya kamu belum beli baju baru?" Ratih menggeleng, "Kenapa?"

          "Ibuku sakit, tadi baru pulang dari puskesmas. Gaji bapakku habis buat periksa berkali-kali. Buat buka nanti aja, aku nggak tau mau sama apa."

          "Oh, gitu ya," Sasha manthuk-manthuk.

          "Eh, kamu masih puasa kan?" Ratih mengalihkan pembicaraan.

          "Masih, dong. Belum bocor sampai sekarang."

          "Hebat, aku juga. Sama, dong," mereka berdua tersenyum, kemudian sama-sama terdiam. Sasha baru angkat bicara untuk berpamitan beberapa saat kemudian.

         

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

          Sasha memasuki kamarnya. Merebahkan diri di tempat tidurnya yang berseprai motif bunga  warna oranye kesukaannya. Bunda menengok Sasha ke kamarnya.

          "Sayang, nanti sore kita beli baju baru, ya? Sama Ayah, di mall. Nanti buka puasanya di kafe, bertiga. Mau, ya?" Bunda membelai kepala Sasha dengan penuh kasih.

          "Iya, Bunda," jawab Sasha. Bunda heran, kok udah tenang, padahal barusan cerewetnya minta ampun.

          "Sasha udah nggak marah lagi sama Bunda?" Sasha menggeleng. Bunda tersenyum lega mendengarnya. Anak ini kadang-kadang setelah marah, entah kenapa bisa langsung anteng.

          "Bunda, Sasha punya permintaan. Ada tiga, Bunda mau ngabulin nggak?" tanya Sasha polos. Bunda terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangguk. Mata Sasha membulat karena senang.

 

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

          Sebuah Kijang Innova warna silver parkir di depan sebuah rumah. Sasha keluar dari mobil ayahnya itu dan menuju bagasi. Ratih, anak pemilik rumah itu memperhatikan dari jendela kamarnya yang menghadap halaman. Mau ngapain Sasha datang kemari, batin Ratih.

          Ayah dan Bunda Sasha menyusul keluar dari mobil. Bunda tampaknya membawa sebuah bungkusan yang berukuran agak besar, sedangkan ayah membawa sebuah koper dan jas putihnya. Sasha menutup pintu bagasi sambil membawa bungkusan besar seperti bundanya.

          Ayah yang paling duluan sampai di teras rumah Pak Haryo, ayah Ratih, menekan bel. Sasha ikut nimbrung dengan mengetuk pintu. Bunda tak mau ketinggalan dan mengucapkan salam tiga kali sampai pintu dibukakan oleh Ratih. Sasha tersenyum sendiri. Keluarga yang kompak, ujar Sasha dalam hati

          "Waalaikumsalam. Eh, Bu Salma, Pak Santoso," ujar Ratih.

          "Boleh kami masuk?" Ayah mulai buka suara.

          "Oh, boleh. Silakan, " Ratih tersenyum.

          "Eh, kita ke kamarmu, yuk. Adekmu ada di kamar, kan?" sembur Sasha langsung. Ratih kaget. Ngebet amat sih ni anak, ucap Ratih dalam hati.

          "Ayah dan ibu ada?" belum sempat pertanyaan Sasha dijawab, yang bawa koper dan pakai jas putih bertanya. Ratih cuma bisa mengangguk dan menjawab lirih.

          "Ada. Ibu di kamar, ayah di dapur, lagi masak air. Sebentar lagi juga ke sini." Ayah dan bundanya Sasha mengangguk.

          "Ayuk," Sasha menggandeng tangan Ratih.

          Dua gadis kecil itu masuk kamar. Bertepatan dengan mereka masuk, ayah Ratih menemui tamu-tamunya. Sasha menutup pintu. Ratih mengernyitkan dahi.

          "Nggak kenapa-napa, kok." Sasha berkata seolah bisa membaca pikiran Ratih. Ia duduk di tempat tidur, "Aduh, sayang sekali, Lela bobok ya?" Sasha melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Jelas-jelas Lela meringkuk di tempat tidur diselimuti kain sarung. Ratih hanya tersenyum dan ikut duduk.

          "Nih, buka deh bungkusannya," pinta Sasha.

          Pada mulanya Ratih bingung. Ia menatap Sasha keheranan, yang ditatap mengangguk, "Buka aja, trus liat." Ratih mengamati bungkusan di depannya dan mengeluarkan isinya. Ada dua bungkusan plastik lagi yang berlabel mall terkenal di kotanya, dan Ratih mebuka bungkusan yang paling luar. Mengeluarkan isinya dan melihat-lihat apa yang ada di dalam bungkusan itu. Sasha mengamati ekspresi Ratih dan mulai menghitung. Satu, dua, . . .

          "Waah!!! Baju-baju ini bagus banget!! Beli di mana, Sha?! Eh, kamu datang ke sini buat minta pendapat aku baju mana yang bakalan kamu pakai, gitu? Pantesan, tadi kamu bingung, ya? Wah, bagus banget! Kamu sih pakai baju-baju ini pasti cantik!" Ratih heboh sendiri. Sasha diam saja. Dia mulai bicara setelah membuka bungkusan lain yang tersimpan lebih di dalam.

          "Nggak, kok. Baju-baju itu buat kamu, di badanku udah kegedean semua. Kamu suka kan?" Sasha mengeluarkan beberapa baju warna-warni yang ukurannya lebih kecil daripada baju yang sedang dipegang Ratih dari bungkusan tadi. "Ini buat adekmu. Lucu-lucu, kan? Bagus, kan? Nah, baju koko ini buat bapakmu. Gamis biru ini buat ibumu. Moga-moga mereka juga suka," Sasha melirik Ratih. Sasha mendengus menahan tawa melihat ekspresi Ratih. Mulut Ratih menganga selebar-lebarnya.

          "Kamu bercanda, ya? Nggak, nggak mungkin. Nggak mungkin kayak gitu," Ratih menggeleng kuat-kuat,"Hm, baju yang merah ini pasti pas di badanmu," Ratih mengamati gamis merah yang ukurannya lebih kecil dari baju yang lainnya. Sebenarnya hati kecilnya senang apabila baju-baju yang sedang diamatinya itu menjadi miliknya.  

          "Ratih, semua baju di bungkusan itu buat kamu. Aku ikhlas. Itu baju dari tanteku yang kemarin ke rumah. Itu semua buat kamu," Sasha mencoba meyakinkan Ratih. Ratih terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Sasha. Sasha tetap menunggu. Setelah beberapa saat, Ratih mulai bicara lagi.

          "Te-terus, y-yang itu?" ucapnya agak terbata. Matanya serasa mulai memanas.

          "Kan tadi aku udah bilang, baju-baju ini buat adekmu, mungkin agak kegedean buat Lela, tapi ini semua udah sempit di badanku. Kalau gamis sama koko ini kebetulan tadi beli di mall," Sasha tersenyum, "Sekarang kamu percaya?"

          "Kamu . . . kamu nggak bercanda, kan?" Sasha menggeleng. "Tapi . . . kok . . . kok kamu . . ." tanpa tertahankan lagi, butiran-butiran bening jatuh di pipi Ratih. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.

          "Aku cuma prihatin sama kamu, bukan dengan maksud apa-apa, lagian aku sedang punya rejeki lebih yang memang udah buat kamu dan keluargamu. Toh, kalau aku ngasih ini semua ke kamu aku nggak bakalan rugi. Kalau aku simpan terus, aku malah rugi," Sasha menggenggam jemari Ratih erat-erat. "Itulah gunanya teman, juga tetangga, harus saling tolong-menolong. Keluargamu udah ngasih banyak pertolongan ke keluargaku. Sekarang giliran keluargaku menolong keluargamu. Ayahku lagi meriksa ibumu. Bunda lagi bicara sama ayahmu."

Ratih menangis.  Sasha mengusap air mata Ratih dengan jari-jari kecilnya. Lela bangun. Menyadari kakaknya terisak, kontan ia menarik-narik baju Ratih. Ratih segera memeluk Lela dan berkata lirih ke telinga adiknya, "Dek, kita punya baju baru. Kita punya baju baru, sayang. Bapak juga, ibu juga . . ." air mata Ratih jatuh di pakaian Lela.

"Nggak cuma itu," Sasha menarik tangan Ratih setelah melepaskan pelukan dengan adiknya, "Ayo."

"Ke mana?"

"Nanti kamu juga tahu sendiri."

Ketiga gadis kecil itu berjalan menuju ruang makan. Di meja yang tidak terlalu besar itu sudah duduk orangtua Sasha dan Ratih.

"Ayo, kita buka puasa bersama," ajak ibunda Sasha kepada mereka bertiga yang sedang membuka dan mengeluarkan bungkusan yang ia bawa tadi. Ratih dan Lela bingung, tapi akhirnya mereka duduk juga. Setelah duduk, ayahanda Sasha ,mendekati Ratih.

"Ratih, ibumu kena sakit typus, harus teratur minum obat. Ini batnya. Yang ini dua kali sehari, yang dua ini tiga kali sehari." Pak Santoso memberikan tiga bungkus obat tablet dan kapsul pada Ratih. Sekali lagi Ratih bingung, tapi tetap menerima bungkusan dari Pak Santoso.

"Terima kasih, Pak" ujarnya lirih. Pak Santoso hanya tersenyum.

"Saya ucapkan terima kasih, Pak, Bu, Dhek Sasha. Terima kasih atas pertolongannya. Tapi, dari mana Ibu tahu persoalan keluarga kami?" Bu Rinta angkat bicara. Pak Haryo mengiyakan perkataan isterinya. Bu Salma yang sedang menata makanan tersenyum dan melirik Sasha yang sedang bercanda dengan Lela. Barulah pasangan suami-isteri itu mengerti.

"Sasha itu anaknya peka. Kalau ada temannya yang sedang susah, dia langsung ingin membantu," kata Pak Santoso.

"Oh, ya. Ini hidangannya. Maaf lho jadi pinjam tempat buka puasa di sini," ujar Bunda Sasha. Ratih jadi agak canggung mendengar ucapan tetangganya. Padahal di rumahnya sendiri, tepatnya di rumah orangtuanya sendiri.

Matahari di ufuk barat telah menyembunyikan diri. Kemudian, terdengar adzan maghrib dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Ratih. Semua yang sedang duduk di sekitar meja makan di rumah itu serentak mengucapkan doa berbuka puasa dan menyantap hidangan yang ada bersama-sama. Tentu saja dengan keakraban dan rasa kekeluargaan yang sangat kental.

□ □ □  ■ ■ ■  □ □ □

 

Keep our relationship with our friend and our neighbour. Don't break it anytime!

Created and written by :

Rizka Khairunnisa

SMP Negeri 1 Kebumen

Jl. Mayjend Sutoyo 22, Kebumen 54311


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar